CERITA SAHABAT
“HAHAHA, adit, gokil, gokil
tadi lo liatakn mukanya si Rama, pas kita umpetin kacamatanya,” girang Dika,
mengingatkan kejadian kita menyembunyikan kacamata ukuran silinder milik Rama,
anank paling jenius di kelas.
“Yoi,
parah banget, tapi gue seneng. Lagian tuh anak belagu banget, sok-sok ngejawab pertanyaan bu Lastri,
mentang-mentang gaulnya sama rumus matematika doank, hahaha,” ujar gue sambil
nahan rasa sakit perut karena kecapekan ketawa di toilet bareng Dika, sahabat
gue dari X, padahal di kelas masih
berlangsung pelajaran matematika.
Tiba-tiba.
BRAAAKKKKKK..... suara gebrakan pintu menghentak dan memperhetikan tawa kami.
“Oh, kalian di sini toh??!” kata bu Lastri . bu lastri datang enggak sendirian,
ia di kawal bu Dewi, guru BK dan Rama, anak paling culun taun ini. Gue dan dika
Cuma cengengesan melihat muka-muka kesal di depan kita.
“Mana
kacamata aku, sini...sini,” kata Rahma. Si gendut dengan gaya manjanya. Karena
mata buLastri memperingati gue dengan matanya yang melotot sampai bola matanya
mau keluar. Gue pun memberkian kacamata yang super gede kepada Rahma.
“hehehe...
piss bu !” kata gue berusaha membela diri.
“nggak
ada kata damai, kalian berdua ikut saya ke ruang BK,” hentak Bu Dewi.
Waduh,, masuk lagi di ruang BK. Haduhhh sampai bosen gue masuk ke ruang angker itu.
Huhh..
****
“HHE,,,
Dit, gara-gara ngerjain Rahma, kita dapat SP3, bete gue, belum puas gue
ngerjain orang,” kata Dika sesaat nongkrong di warnet depan sekolahan.
Gue
merasa Bu Dewi emang pantas memberikan SP3, apalagi nyokap gue udah bosen bolak
balik ke sekolah karena prestasi gue yang palina tingggi dalam ngerjain orang.
Kalau di inget lagi, surat SP1 kita dapat saat kelas XI, gue dan Dika buat ulah dengan sengaja menaruh bekas perman
karet di bangku Sherin. Alhasil permentnya berhasil merobek roknya. Kejadian
itu membuat Sherin malu bukan kepayang dan esoknya orang tuanya memutuskan
Sherin untuk pindah sekolah.
SP2
kita raih waktu awal kelas XII. Saat
itu kta iseng bermain korek api gas. Ini kejadian yang paling kocak. Gue dan
Dika ngerjain si cupu, Rahma. Waktu itu sedang pelajaran matematika, suasana
sangat hening karena semua siswa pada asik mengerjakan tugas dari Bu Lastri.
Kebetulan gue duduk di belakang si cupu. Dengan
bermodal korek api gas, gue buat aksi yang gila di tengah kesunyian. Gue
nyalain korek api tepattapat di bawah celan Raham. Sampai 3 menit, gue dan Dika
merasa aneh, kok si cupu nggak ngerasain sesuatu, sampai menit ke 5 tiba–tiba,,
“Ahhhhsss,,, panas !! panas !!!!” si cupu menjerit sambil loncat – loncat
kepanasan, semua murid ngelihatin dia
sambil ketawa terbahak-bahak.
“Woy,,
sob, ko elo malah bengong, gue dari tadi ngomong di kacangin,” hentak Dika
menyadarkan gue dari lamunan.
“hah..
enggak, gue lagi mikir aja,” kata gue sambil garuk-garuk kepala.
“Cie..
tampang kaya elo mikir, ga pantes cin”.
“Gue
lagi mikir aja, kita kan udah kelas XII, terus bentar lagi kita kan kuliah,
kira-kira gue bakalan dapet temend segila elo lagi enggak ya??” kata gue agak
serius.
“hahaha.
Takut kehilagan gue ya??, hahahaha, uhukk.... uhukkk.. uhukk,” tiba-tiba tawa
Dika terhenti oleh batuk yang gue rasa nggak sepeti biasanya..
“Suurin,
udah gila sih lo!” ucap sambil menyodorkan segelas air putih.
“Ahh,
elo Dit. Enggak usah lebay deh. Biasa aja lah. Oh iya, gue Cuma mau ngingetin
lo harus serius belajar, soalnya kita udah harus siap-siap ngadapin ujian.”
“Jiah,
enggak salh denger gue? Seorang Dika ngingetin gue beljar, ngaca dong lo, uda
lo isep berapa tu rokok??”
“Ya,
gue Cuma ngasih tau aja, jangankan selusin, sama pabriknya ayohh, toh gue juga
udah siao mati gara-gara rokok,”
“heh.
Sembarangan aja lo ngomong, kualat lo,” kata gue cemas.
“ahh, lagak lo kaya orang tua aja,”ucap dika
cengengesan.
****
Hari
ini Dika enggak keliatan di kelas, terasa janggal tuh anak, tumben cabut enggak
ada kabarnya. Jangankan SMS sudah hampir 30 kali gue telepon ke hp-nya nggak di
angkat. Sial sidl si Dika, tumben tuh anak menghilang tanpa jejak.
Sampai
akhirnya gue memutuskan untuk berkunjung ke rumahnya. Aneh, rumahnya juga
tampak sepi, gue sudah berteriak-teriak tapi nggak ada satu orang pun nanggapin
gue. Tiba-tiba seorang ibu-ibu yang gue kenal sebagai pelayan akhirnya keluar
dan berkata,”Maaf, dik Adit, mas dikanya di bawa kerumah sakit.” hah,gue
terkejut dengan apa yang dilontarkan sama ibu itu.
“Rumah
sakit, emang dia kenapa bu??”
“Kankernya
kambuh dik”
Ap? Kanker? Selama 3 tahu berteman , gue nggak
pernah tau kalau Dika mengidap penyakit separah itu.
****
Setelah
dapat informasi dari ibu itu, gue langsung begegas ke rumah sakit yang di tuju.
Sepanjang jalan pikiran gue udah nggak karuan.
Sesampainya
di rumah sakit, gue menuju ruang Icu. Yah, disana sudah ada orang-orang yang
tak asing lagi wajahnya. Mereka adalah keluarga Dika. Mereka tampak murung di
kursi ruang tunggu didepan ruang ICU.
“Bu,
Dika kenapa?” tanya gue yang masih mengenakan seragam abu-abu.
“Penyakitnya
kambuh, Dit. Semalam dia batuk dan jatuh pingsan di kamarnya.” Kata seorang ibu
dengan wajah yang dibasahi air mata.
“Ma,
ma kakak mana ma?” ujar polos adik laki-laki dika yang masih berumur 5 tahun
sambil menarik rok mamanya.
Tiba-tiba
seorang bapak dengan tertuduk keluar dari ruang ICU, selurh keluarga dika
mengerubuti Bapak itu dan berkata. “Pa, Dika gimana?”
“Dika
sudah pergi meninggalkan kita,” jawab bapak itu sambil menahan isak tangis.
Sesaat
suasana berubah larut dalam kesedihan. Gue tanpa memperdulikan mereka merobos
masuk ke dalam ruang ICU. Sekarang di de[an gue adalah seseorang yang selama
ini menemani gue di dalam ruang BK. Tapi dia terkapar kaku tanpa ekspresi usil.
Dengan perlahan gue dekatin tubuhnya.
“Eh
Dit, bangun lo, nggak lucu berjanda lo sampai buat seluruh keluarga lo sedih,”
gue berusaha membangunkan orang yang sangat gue idolakan tersebut.
“Eh,
PR kita masih banyak, isi kita buat bikin bu Dewi malu belum kita jalanin, lo
juga janji mau pawai ngerayain kelulusan kita nanti, woy bangun!’
“Dit,Ddika
sudah nggak ada, dia uda kalah melawan knker paru-paru yang ia derita sejak
SMP,” kata ayah Dika meyakinkan gue. Gue hanya terpaku dan menjatuhkan sebutir
air mata ketika mendengar parkataan ayahnya. Gur merasa sangat bodoh ternyata
gue bukanlah sahabat yang baik. Penyakit yang diderita dari SMP pun gue nggak
tahu. Kenapa? Apa dika menggap gue nggak perlu tahu karena gue hanya sekedar
sahabat saja. Dika, Dika, ternyata lo emang sahabat gue yang paling baik,
sampai lo nggak mau nyusahin orang lain,
sampai lo sembunyiin penyakit kronis lo itu. Sial lo Dik. Tapi sob, gue yakin
disana lo akan tetap gokil dan usil.
Rest
in peace Dik !
ÐÑL©®J™
Tidak ada komentar:
Posting Komentar